MENAKAR
POTENSI KOPMA MEMBELI KAMPUS
oleh-oleh diskusi
dengan para pejuang Kopma IAIN Walisongo Semarang

Ups...tapi sepertinya agenda ini harus tertunda
dulu karena ada yang terlupa tadi Isma salah satu kader Kopma (Koperasi
Mahasiswa) IAIN Walisongo Semarang mengabarkan kalau mereka sedang dalam
perjalanan menuju Purwokerto. Mereka melakukan serangkaian perjalanan studi
banding perkoperasian di berbagai kota dan salah satu destinasinya adalah
Kopkun. Isma berharap perkenan penulis memberikan pencerahan kepada segenap
kader-kadernya yang berjumlah lebih kurang 50 (lima) orang. Atas hal ini,
sepertinya keadaan mengaajarkan pada anak-anak untuk lebih bersabar dan bijak
memahami perjuangan yang tidak mengenal waktu atau tanggal merah. Walau wajah
anak-anak menunjukkan nada protes namun sepertinya agenda makan siang diluar
bisa mecairkan suasana dan mendatangkan permakluman serta merelakan sang papah
untuk mampir dulu ke arena diskusi koperasi.
Tepat jam 14.00 Wib, penulis dan keluarga tiba di
Kopkun 3 yang terletak di Desa Teluk, Purwokerto. Setelah rehat sejenak di
ruang transit, penulis langsung memasuki arena diskusi yang sudah dipenuhi kader
Kopkun selaku tuan rumah dan juga 50-an orang kader-kader Koperasi Mahasiswa
IAIN Walisongo Semarang.
Diskusi dimulai dari memberikan sedikit testimoni
seputar kelahiran dan perjalanan Kopkun dimana penulis kebetulan menjadi salah
satu pelaku sejarah berdirinya Kopkun. Selanjutnya penulis mencoba memantik
fikiran kreatif dan semangat juang audience yang sesekali diselingi
dengan kelakar yang mengundang senyum dan atau gelak tawa. Penulis coba
meyakinkan mereka bahwa sesungguhnya tidak ada relevansi antara IP (Indek
Prestasi) dengan Ber-Kopma, sebab ber-Kopma sesungguhnya adalah tindakan cerdas
meng-efektifkan waktu bermain. Disamping itu, Penulis meyakinkan peserta bahwa
Ber-Kopma adalah salah satu media dan kesempatan luar biasa untuk membentuk soft skill
yang akan menjadi pendukung kesuksesan para kader dikemudian hari di realitas
kehidupan pasca kampus. ‘ragam aktivitas yang
dijalankan dan diperankan kader di keseharian Kopma adalah proses yang ikut
berperan melipatkandakan kedewasaan dan kematangan kader. Oleh karena itu,
intensitas dan kualitas be-kopma memiliki relevansi dengan kecerahan masa depan
kader itu sendiri, Intinya, ber-Kopma merupakan bagian dari Investasi sumber
daya manusia sehingga kesempatan ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya”.
Dalam kelakar dan sekaligus mantik-nya, penulis
menyarankan ada 2 (dua) hal agar Kopma bisa maju : (i) menyumbangkan semua
asset nya ke pihak universitas dan; (ii) membangun kembali kopma dari titik 0
(nol) di luar pagar Kampus. Bahkan penulis memberi jaminan kalau bertindak
mandiri semacam itu akan membuat kopma akan kuat dan kokoh. Bahkan bukan tidak
mungkin kalau kemudian suatu waktu Kopma bisa membeli kampus kalau dijual . Sontak imajinasi
liar ini disambut gelak tawa dan tepuk tangan segenap peserta diskusi. Penulis
menyampaikan 2 (dua) hal ini untuk membangunkan kesadaran mereka tentang
dahsyatnya sebuah kebersamaan berlabel koperasi. Penulis ingin mendorong
peningkatan gairah untuk terus melakukan pencarian makna-makna kebersamaan yang
melekat dari sebuah koperasi. Kesadaran tersebut diharapkan akan
menggelinding menjadi bola salju dan berujung dengan lahirnya karya-karya
fenomenal dari tangan-tangan dingin pejuang kopma, khususnya di kopma IAIN
Walisongo.

Ditengah semangat yang sedang me-naik, penulis
terpaksa mencukupkan diskusi di menit ke-60 (enam puluh) mengingat harus
menunaikan kewajiban lain yaitu menjalankan peran ayah bagi 3(tiga) orang anak
yang sedang menunggu gelisah di ruang tansit. Keadaan ini
dimengerti oleh peserta apalagi saat penulis menyampaikan kekhawatirannya
kalau-kalau ke-3 (tiga) anaknya ber-ide untuk ganti ayah karena terlalu sibuk
dengan urusan koperasi. Cara berpamitan semacam ini
langsung disambut disambut gelak tawa dan tepuk tangan segenap peserta.
Akhirnya diskusi tercukupkan dan diakhiri dengan fhoto bersama.
Usai diskusi, seketika penulis meninggalkan
ruangan dan langsung tancap gas menuju landasan Udara Wirasaba
Purbalingga dimana ekspo pesawat terbang sedang digelar. Dengan semangat
45, ketiga lelaki terus menyemangati ayahnya untuk memacu kendaraan lebih kencang
agar cepat sampai di bandara. Ibu anak-anak hanya tersenyum melihat tingkah
ketiga jagoan itu sambil mengingatkan sang ayah untuk tetep berhati-hati dalam
mengendara.
Sesampai disana..tiba-tiba semangat ketiga
lelaki ini berubah menjadi kekecewaan mendalam, khususnya anak nomor 2 (dua)
yang sangat hobby dalam urusan IPTEK. Bagaimana tidak, imajinasinya tentang
hebohnya pegelaran ekspo pesawat terkubur oleh kenyataan dimana ekspo sudah
selesai dan tidak satupun pesawat yang masih terparkir dilandasan
udara.
Sebagai seorang ayah, ada perasaan berdosa yang
amat sangat mendapati mereka diam seribu bahasa
bercucur air mata disepanjang perjalanan pulang. Kali ini, dibelikan minuman
dan makanan sekalipun tak bisa mengobati kekecewaan yang sedang melanda.
Penulis pun speechless dan hanya bisa
merenungi betapa indahnya dinamika hidup dan perjuangan.Semoga, di suatu waktu
nanti..kejadian menyedihkan ini bisa membangunkan makna bijak pada sang anak
bahwa berjuang itu memang tidak mengenal waktu. Semoga akan terbangun
juga dibenaknya bahwa menyebarluaskan kebaikan terkadang harus menegasikan
agenda-agenda kesenangan pribadi. Akhirnya, penulis hanya bisa berharap semoga
kejadian ini tidak mereka hitung sebagai pelengkap sederetan kekecewaan sejenis
dan kemudian meng-inspirasi mereka ber-ide pada ibunya untuk berganti
ayah sebagaimana kelakar penulis dipenghujung diskusi tadi.....
0 comments:
Post a Comment